Jumat, 22 November 2013

PERAN SOSIOLOGI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN

Pengantar
Di tengah hujatan berbagai kalangan terhadap peran ilmu social dalam proses transformasi masyarakat dewasa ini dan sekaligus justru ilmu social cenderung memberikan arah terhadap proses tersebut, tentunya sebagai seorang akademisi merasa prihatin terhadap persoalan tersebut. Hingar bingar modernisasi dalam kehidupan masyarakat yang berakhir dengan bentuk kejenuhan, alienasi, dan ketimpangan social seharusnya menjadi obyek pembahasan sosiologi. Akan tetapi justru sosiologi selalu berposisi tertinggal ketika masyarakat sudah mengalami transformasi. Maknanya adalah sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan dituduh seakan-akan berada di luar masyarakat itu sendiri, sehingga tidak “membumi”. Tulisan singkat berikut berusaha mencari tahu bagiamana sosiologi dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mengatasi kemiskinan di Indonbesia.

Struktur Sosial Masyarakat
Struktur sosial adalah tatanan atau susunan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu ketaraturan perilaku sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat (Soekanto, 1983). Sementara (Shanin, 1971) berpendapat bahwa struktur sosial desa merupakan keadaan khusus bagi daerah tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Namun demikian menurut Shanin, tidak ada konsep lapisan sosial yang dapat digunakan untuk menjelaskan secara tepat kenyataan sosial kelompok petani tertentu, sehingga upaya untuk mengungkap struktur kelas masyarakat merupakan masalah yang sulit.
Kesulitan ini ditemukan oleh (Beteille, 1977: 119-125) ketika mencoba merumuskan definisi formal tentang kelas dengan cara membandingkan antara berbagai model penafsiran struktur kelas yang ada dengan kenyataan sosial yang ditemukan dalam masyarakat agraris di India. Beteille tidak menemukan satupun definisi formal tentang kelas yang sepenuhnya memuaskan dilihat dari kemampuan untuk menjelaskan gejala sosial tidak hanya secara logis dan konsisten tetapi juga sekaligus menunjukkan secara tajam arti sosiologis kategori-kategori kelas yang dihasilkan oleh definisi-definisi tersebut.
Lebih lanjut Beteille menjelaskan bahwa pembagian kelas masyarakat pada lazimnya mengikuti dua macam pendekatan formal, yakni pendekatan dikotomi dan pendekatan gradasi. Pendekatan dikotomi menagandalkan adanya hubungan ketergantungan antara dua kategori kelas dalam kaitannya dengan kepemilikan, pengendalian, dan penggunaan tanah, seperti hubungan antara pemiliki tanah dengan buruh tani. Pendekatan dikotomi memiliki keunggulan dalam hal menunjukkan arti sosiologis dari hubungan-hubungan anntara berbagai kategori kelas yang ditampilkan, namun memiliki kelemahan dalam hal menjelaskan konsistensi hubungan antara berbagai kategori tersebut. Sebagai contoh hubungan ketergantungan antara dua kategori kelas dalam kaitannya dengan pemilikan dan penggunaan tanah, seperti hubungan antara pemilik tanah dengan buruh tani. Model pembagian ini tidak mampu menjelaskan bagaimana sifat hubungan antara kategori-kategori tersebut bila dihadapkan pada gejala-gejala banyaknya pemilik tanah sempit yang relatif terbebas dari ketergantungan pada pemilik tanah luas dan tidak memperkerjakan atau mengupah buruh tani.
Berbicara mengenai struktur sosial dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran Marx dan Weber, mengenai dimensi-dimensi stratifikasi sosial. Tesis klasik Marx mengenai sistem stratifikasi sosial sangat berkaitan erat dengan adanya ketidaksamaan kelas yang disebabkan oleh perbedaan dalam keidupan perekonomian, utamanya yang menyangkut mode produksi. Oleh karena itu pandangan Marx lebih menekankan pada aspek ekonomi yang menentukan kedudukan kelas (Charon, 1980: 109-114).
Uraian di atas mengandaikan setiap masyarakat memiliki posisi-posisi dalam struktur sosialnya, posisi setiap orang dalam struktur social mengikuti pendapat Marx akan ditentukan oleh aksebiltas pada factor-faktor ekonomi. Selanjutnya dalam konteks sosiologi disebut stratifikasi social. Pertanyaan mendasarnya dalam pembahasan penanganam kemiskinan, adalah apakah kemiskinan memang ada dan harus ada dalam masyarakat ?. seandainya memang kemiskinan harus terjadi oleh sebab posisi dalam strukturmaka, bagaimana peran mereka dalam memebntuk struktur tersebut ?. artinya meskipun terdapat sekelompok masyarakat miskin dalam sebuah struktur, tetap akan peran dalam redistribusi sumber-sumber ekonomi.
Perspektif Kemiskinan di Indonesia
Kedudukan manusia dalam proses pembangunan terutama pembangunan di pedesaan adalah sumberdaya yang diunggulkan, mengingat jumlah penduduk desa yang potensial. Wilayah pedesaan umumnya ditndai oleh karakttertik penduduk yang berpendapatan rendah, produktivitas rendah, tingkat pendidikan rendah, kesehatan dan gisi relative kurang ditunjang oleh tingkat kesejahteraan yang rendah pula. Keadaan inilah yang menjadi sasaran pembangunan. Karena kehidupan mereka perlu ditngkatkan, utamanya untuk mengatasi kemiskinan masyarakat desa tertinggal.pengentasan kemiskinan merupakan kegiatan multidimensional. Tidak hanya terkait dengan sasaran bidang pendidikan, tetapi juga sasaran pemenuhan kebutuhan dasar manusia (human basic need) yang harus ditangani secara terpadu. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia tidak lain adalah kesempatan memperoleh kesehatan, gisi, penghasilan yang cukup, kesempatan memperoleh pendidikan, dan kehidupan keluarga sejahtera.
Kemiskinan biasanya diartikan sebagai situasi yang tidak memungkinkan terpenuhinya kebutuhan pokok dengan layak. Sifat-sifat khusus bangsa, masyarakat dan bahkan etnis diperhitungkan dalam mendefinikan sifat dasar, komposisi dan jumlah kebutuhan pokok yang bersangkutan. Tetapi dalam rangka memanfaatkan konsep tersebut dalam menentukan garis kemiskinan, para ilmuwan telah mempergunakan norma-norma biologi yang biasanya diungkapkan dalam jumlah makanan yang dikonsumsi. Kendati adanya keberatan utama terhadap metodologinya (variasi perorangan akan kebutuhanbahan makanan; penilaian untuk masukan, tapi tidak untuk keluaran; pengumpulan masalah, dan lain-lain), tetapi definisi garis kemiskinan yang didasarkan pada pendapatan yang diperlukan untuk membeli sejumlah kebutuhan pokok minimum, merupakan prosedur yang sudah teruji dengan landasan cukup pragmatis sehingga dalat diselaraskan dengan data yang dikumpulkan pada tingkat makroekonomi (Gsänger, 1988).
Lebih lanjut Gsänger menyampaikan bahwa; penilaian dimensi garis kemiskinan di kawasan, yaitu perhitungan kualitatif taraf dan sifat kemiskinan, dilaksanakan berdasarkan data yang dikumpulkan dari hasil penelitian rumah tangga nasional. Definisi norma-norma gisi dilakukan berdasarkan rekomendasi Departemen Kesehatan dan FAO. Jumlah yang dianjurkan dipertimbangkan berdasarkan harga rata-rata yang sedang berlaku dipedesaan Jawa.
Emil Salim (1976) dalam Supriyatna (1997) mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima karakteristik penduduk miskin tersebut adalah:
1. Tidak memiliki factor prosuksi sendiri
2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri
3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah
4. Banyak di antara mereka yang tidak mempunyai fasilitas
5. Di antara mereka berusia relative muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.
Kelompok penduduk miskin yang berada di masyarakat pedesaan dan perkotaan, umumnya berprofesi sebagai buruh tani, petani gurem, pedagang asongan, pemulung, gelandangan, pengemis (gepeng), dan pengangguran (Supriyatna, 1997). Kelompok ini akan menimbulkan problema yang terus berlanjut bagi kemiskinan cultural dan structural, bila tidak ditangani secara serisus, terutama untuk generasi berikutnya. Pada umumnya, penduduk yang tergolong miskin adalah golongan residual yakni kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh berbagai kebijakan Pemerintah yang terkonsentrasikan secara khusus, seperti melalui IDT. Namun secara umum sudah melalui PKT, program BIMAS, Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan, NKKBS, KUD, PKK di desa dsb. Golongan ini sulit disentuh, karena kualitas sumberdaya yang rendah sehingga kurang memanfaatkan fasilitas, termasuk factor-faktor produksi. Mereka juga kurang memiliki kemampuan, tingkat pendidikan yang rendah, pelatihan yang sangat minimal, termasuk meanfaatkan pemberian bantuan bagi kebutuhan dasar manusia, dan perlindungan hokum atau perundang-undangan yang tidak kurang memihak mereka.

Kemiskinan Sebuah Realitas Sosial ?
Kemiskinan menjadi sesuatu yang sudah barang tentu. Orang kebanyakan mengambil sikap semacam itu, atau kemiskinan memang suatu “kewajaran’ yang sudah pasti tentu ada. Pemaknaan semacam ini akan membatasi wawasan pemikiran kita pada suatu keadaan yang pasti dan sudah barang tentu terjadi dalam kondisi kehidupan. Kemiskinan buka suatu problema yang harus dipikirkan dan diselesaikan karena hal itu dalam batas kewajaran. Namun suatu saat orang miskin yang kita lihat merayakan pesta perkawinan anaknya, mengundang tetangga dan teman-temannya. Akan tetapi suatu hari kita akan melihat rumah orang miskin tadi digedor-gedor orang yang menagih hutang. Dua “realitas” yang tadi kita lihat, mulai menyangsikan sebuah kata “kewajaran”. Kita akan berfikir; mencari sebab musababnya atau mungkin kaitan-kaitannya dengan hal-hal lain.
Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sederhana, tidak seperti bertanya pada orang di jalan atau dari data. Kita harus jumpa dengan pribadi si miskin, bertanya dan mendapat jawaban bukan hanya itu apabila kita ingin sungguh mau memahami (verstehen) realitas yang disebut dengan kata kemiskinan itu, kita tidak hanya sekedar meneropong dari luar, meskipun pada tahap tertentu kita harus menropong dari luar untuk mengetahui sesuatu. Misalnya ikut dalam berbagao harapan, perasaan, dan perjuangan yang dilakukan si miskin. Ringkasnya, memahami kemiskinan melalui proses karena kemiskinan bukan tampak sebagai barang yang berdiri di luar kita, melainkan melekat pada diri manusia (Hardiman, 2002).
Hasil peneropongan kita dari luar tentu sangat bergunan, melalui itu kita akan menbandingkan, mencari kaitan, mencari sebab, menelusuri sejarah, dan seterusnya. Misalnya kita akan menemukan struktur-struktur yang menyebabkan mengapa orang tersebut miskin, mengkin struktur social, politis, ataupun budaya, sehingga mendapatkan sebuah analisis empiris tentang realitas tersebut.
Pemahaman kita dari dalam mengungkap lebih banyak lagi, misalnya kita akan menemukan kompleks perasaan-perasaan, keinginan-keinginan, atau pikiran-pikran yang berkaitan dengan kemiskinan tersebut. Singkatnya, kemiskinan bukan hanya soal material yang obyektif, melainkan menembus penghayatan batin dan kesadaran si miskin. Kita akan menemukan struktur-struktur dalam dari kemiskinan tersebut.
Dari dua penjelasan di atas, untuk mendapatkan realitas sebuah kemiskinan memerlukan penghayatan realitas batin, dan juga meliput sampai seluas-luasnya realitas lahiriah. Harapan kita adalah menemukan struktur-struktur umum yang paling luas dan niscaya yang berdiri di luar si miskin yang berkaitan dengan kemisikinannya, serta menemukan struktur-struktur subyektif yang paling dalam yang berkaitan dengan kesadaran si miskin, yang juga terkait dengan kemsikinannya. Dengan harapan perta; kita meungkian akan menemukan susunan kelas masyarakat si miskin, sejarah masyarakat si miskin, tuntutan kebudayaan si miskin dan seterusnya. Dari yang ke dua kita mungkin akan menemukan persepsi-persepsi, era berfikr, sikap-sikap, disposisi-disposisi, cita-cita, dan seterusnya.

Peran Sosiologi dalam Penanganan Kemiskinan di Indonesia
Pada dasarnya etos ilmu pengetahuan social adalah mencari kebenaran obyektif atau mencari realisme, yaitu suatu istilah yang salah satu artinya menunjukk pada suatu pandangan obyektif tentang realitas (Gunnar Myrdal, 1981 dalam Santoso dan Santoso, 2003). Taraf obyektivitas ilmu-ilmu social dalam hal ini adalah memandang kenyataan sebagaimana adanya (das sein) dengan menggunakan metodologi serta teori social berdasar realitas obyektif yang dijadikan lapangan penyeldidikan. Lebih khusus lagi adalah bagagimana ilmu social dapat membebaskan diri dari: pertama: warisan peninggalan yang kuat dari penulis-penulis sebelumnya dalam bidang ilmiah yang digarap yang kadang kala mengandung orientasi normative dan teologis serta berlandaskan filasafat moral metafisika tentang hokum alam serta utilarianisme yang menjadi sumber terbentuknya teori social. Melalui upaya pembebasan diri dari segala pretense atau kepentingan social untuk menghasilkan pengetahun yang obyektif secara apa adanya, sehingga konsekuensi ilmu-ilmu social sebagai ilmu yang mempelajari manusia dengan segala gejala sosialnya yang selalu berubah-ubah dapat diterima sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu alam.
Kedua; pengaruh-pengaruh seluruh lingkungan kebudayaan, social, ekonomi dan politik dari masyarakat tempat ilmu social itu ditumbuhkan (Gunnar Myrdal, 1981 dalam Santoso dan Santoso, 2003). Pembebasan ilmu-ilmu social dari pengaruh kehidupan social yang melingkupinya bukan dalam artian bahwa ilmu social bebas nilai dan kepentingan. Hal ini dikarenakan, menurut Soedjatmoko (1993) banyak ilmuwan social dalam menghadapi persoalan social masih terbatas lingkup berlakunya karena terikat pada kebudayaan tertentu, tetapi bagaimana ilmu-ilmu social membawa seperangkat kepentingan praktis ke dalam pemahaman persoalan social secara lebih obyektif.
Persoalan kemiskinan, dilihat dari perspektif ilmu social sangatlah kompleks, melibat beragam struktur-struktur yang saling berkaitan dan membentuk sebuah realitas yang disebut kemiskinan. Ilmu social sebagai ilmu histories-hermeneutis menyoroti bidang-bidang intersubyektif yang selalu berubah-ubah, karena terjadi dalam gejala social bukanlah fakta mati melainkan pendapat manusia atas gejala tersebut. Sehingga obyek dalam gejala social itupun butuh penelaahan disesuaiakan dengan konteks interaksi yang dinamis. Dalam penelaahan konteks kemiskinan, ilmu social tidak hanya menjelaskan fakta kemiskinan masyarakat akan tetapi penjelasan penyebab dalam proses yang menyebabkan kemiskinan suatu masyarakat dalam hal; bagaimana struktur yang terbentuk, unsur-unsur struktur yang terlibat, disposisi-disposisi structural dan cultural, dan persepsi-persepsi dalam suatu konteks yang dinamis serta obyektif.
Sesungguhnya telah banyak kalangan sosiolog maupun antropolog yang telah melakukan kajian-kajian sosiologis tentang kemiskinan di Indonesia. Sebut saja antropolog Koentjaraningrat. Dalam kepentingan pemerintahan atau kepentingan pembangunan pemilihan teori social yang berkenaan dengan kepentingan ideologis di Indonesia pada awalnya terdapat teori mentalitas di Jawa yang diperkenalkan oleh Koentjaraningrat. Teori mentalitas ini antara lain mengasumsikan bahwa kemiskinan atau hambatan yang terjadi dalam proses pembangunan nasional disebabkan oleh mental manusianya. Lingkungan social yang miskin dan tertindas dicari factor penyebabnya pada mentalitas kerja, sehingga masyarakat perlu diinjeksi prasyarat-prasyarat mental yang lebih mendorong supaya pembangunan lebih berhasil (Koentjaraningrat, 1974). Teori yang sampai saat ini berpengaruh dalam dinamika perkembangan ilmu-ilmu social ini kemdian dipertentangkan dengan teori strukturalisme yang membahas masyarakat dari structural masyarakatnya bukan mentalistasnya (Santoso dan Santoso, 2003).
Pada awalnya Geertz (1983) memperkenalkan teori ini dalam suatu penelitian tentagn kemiskinan yang terjadi di Jawa, bahwa orang Jawa pada masa tanam paksa buknlah miskin karena malas bekerja, melainkan mereka menjadi malas karena sudah terlalu miskin, sebagai akibat struktur pertanian dan perkebunan colonial yang tidak memungkinkan mereka untuk meningkatkan pertanian. Salah satu dominasi struktur pada hambatan pembangunan untuk saat ini bagagimana dalam sebuah struktur masyarakat yang kapitalistis dan lebih mengutamakan persaingan bebas, sangat kurang kesempatan masyarakat untuk meningkatkan hidupnya atau berpartisipasi dalam pembangunan.
Sayogyo, sebagai salah satu tokoh sosiologi Indonesia yang telah menekuni perspektif kemiskinan. Sejak tahun lima puluhan, selaku staf pengajar Fakultas Pertanian, Sayogyo sudah tertarik pada masalah pangan sebagai kebutuhan dasar utama orang Indonesia. Dari penelitian tentang kebutuhan gisi tersebut, Sajogyo sampau pada kesnipulan pentingnya perbaikan gisi keluarga sebagai sasaran utama pembangunan dan tolol ukur keberhasilan pembanguna di Indonesia. Meskipun telah ada propinsi yang telah mencapai sasaran pembangunan, namun di Jawa masih pada tingkat 1700-1800 kalori per kepala/hari. Pada pertengahan 1970-an berkembang diskusi yang meluas mengenai garis kemiskinan. Semata-semata berpegangan pada tolok ukur konsumsi kalori dan gisi setiap kepala perhari dirasa kurang memadahi, sementara mencari data tentagn konsumsi keperluan lain juga masih sukar.
Lalu langkah berikutnya adalah mencari pola-pola konsumsi dengan memanfaatkan data SUSENAS dari BPS. Memang inipun dapat dipertanyakan seberapa jauh dapat mencerminkan garis kemiskinan ?. Namun demikian, pola konsumsi dari berbagai lapisan masyarakat, di daerah pedesaan dan perkotaan secara lebih lengkap mencerminkan pengeluaran mereka sehingga merupakan proxy yang melengkapi konsumsi pangan saja (Sajogyo, 1973 dalam Tjondronegoro, 1996). Karena itu, Bank Dunia juga tertarik dan banyak menggunakan data SUSENAS untuk menghitung garis kemiskinan Indonesia dalam laporan mereka.
Sesunggunya masih banyak lagi kalangan ilmuwan social yang telah mengabdikan dirinya pada kajian-kajian kemiskinan secara kontekstual. Seperti DH. Peny, telah menelusuri jejak kemiskinan yang disebabkan oleh keterikatan struktur pasar capital dari sebuah golongan masyarakat tertentu. Penjelasan Peny tentang kemiskinan lebih bermakna pada hegemoni ekonomi oleh sebuah system kapitalistik, sehingga masyarakat, masyarakat terstrata berdasarkan kemampun aksebilitas pada pasar secara kompleks. Sehingga pada sebagian justru terjepit oleh system yang terbentuk oleh azas pertukaran uang dan barang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar